Jumat, 05 April 2013

Bochor eh Bogor


Liburan selalu menjadi ajang buat gue bangun kesiangan dan menghemat air kosan. Tapi hal ini gak berlaku ketika hari ini gue ada janji jalan-jalan ke kota yang kata guru SD pas di kampung disebut kota hujan. Ya Bogor. Si Ryan sms klo kita (gue, ryan, geza dan frisa) bakalan berangkat dari kosan si frisa jam delapan pagi. Dan gue udah mandi dan tampak ganteng, eee oke gak ganteng tapi cakep #sikap,  jam setengah delapan. Kata si syella golongan darah B bakalan sering yang namanya suka telat tapi entah kenapa hal itu gak terjadi di diri gue. Gue heran, syella juga. Kita heran. Ah sudahlah. Dengan semangat 45 karena belum pernah naik KRL sejauh bogor akhirnya gue sampai di depan kos frisa jam delapan kurang dikit. Terlihat banyak sekaliiiii... rumput -____-“ si geza dan ryan blom dateng. Seperti biasa yang dilakukan adalah sms dengan isi “dimana kau??” dan respon mereka adalah “tidak dijawab” #sedih *forever alone*. Akhirnya dengan sabar gue coba menunggu sambil sesekali ngelihat duo hape barangkali mereka dengan khilaf bales sms gue.


Lima belas menit. Dua puluh menit. Gue masih sendiri. Serasa seorang jomblo yang pagi-pagi lagi nungguin cewek baru pulang dari jogging terus kenalan dan tukeran nomer hape. Akhirnya dua orang itu datang dengan menebarkan senyum-senyum dan berkata “salahin geza ul geza nih”. Dengan penuh rasa sabar akhirnya gue membalas senyum mereka. Sambil dongkol di dalem #salah. Akhirnya kami berangkat ke stasiun kecil deket kampus yang memiliki memori indah saat pulang dari pulau pari dulu. Beli tiket ke tanah abang dan menunggu datangnya KRL. Ya gue berharap KRL yang bakal kami tumpangi. Setengah jam kemudian tampak dari jauh sebuah kepala kereta. Tunggu. Ada asap. KRL itu gak berasap. Ah mungkin kepala KRLnya lagi kebakaran. Bukan, Itu lokomotif bukan KRL. Tidaaaakkk. Kenapa setiap gue pengen ke tanah abang gak pernah ngerasain KRL. Kenapa harus kereta penumpang dengan banyak orang berdiri di dekat pintu itu. Apakah gue ada salah ama PT KAI?? Kenapa?? Memori ke tanah abang selalu gue lalui dengan segala kepengapan dan berdesak-desakan diselingi bau-bau ketek om-om dan tante-tante yang mengalir dengan derasnya. #muntaahh

Akhirnya dengan napas yang terengah-engah kami sampai ke tanah abang. Ryan dengan sigap langsung membeli tiket ke bogor dan dipastikan kita bakalan naik KRL comutter ber Aaaseeee. #terharu.

“jam berapa yan??” tanya gue

“jam setengah sepuluh lebih” jawabnya

Oh. Gue liat jam. Ya dua puluh menitan lagi lah. Akhirnya kita mencoba istirahat dan menetralkan bau-bau ketek yang bersarang di hidung kami. Banyak kereta lalu lalang jam itu. Ya iyalah namanya juga stasiun. Bodo juga gue. Kesel kan. Eh itu tulisan kemaren.

Jam di stasiun udah menunjukkan pukul setengah sepuluh dan tak terlihat adanya batang hidung KRL kami. Akhirnya si Ryan mencoba menanyakan kepada mas-mas petugas penjaga rel. Dan dia membawa kabar buruk. Keretanya ditunda sampai jam setengah sebelas. What The *tiiittttt*. Kenapa itu kereta telat?? Apa mungkin masinisnya lagi ambeien atau lagi mules jadi harus ke belakang dulu?? Bukan cuma kami yang kecewa. Ibuk-ibuk dengan anak kecil di gendongannya juga kecewa. Kita di-PHP ama si kereta cuy. Kurang sakit apa coba di PHP bukan sama cewek tapi sama kereta *apasih ul*.

Akhirnya dengan peluh yang teramat banyak dan bau harum sabun yang mulai memudar dari tubuh kereta yang ditunggu-tunggu datang. Terlihat di atas pintu kereta terpampang jalur KRL dengan stasiun-stasiun yang ada. Setelah dihitung dengan seksama dan melihat tulisan yang berujar “Bogor” ada di pojok kanan bawah, kami harus melewati sekitar 18 stasiun lagi untuk sampai ke bogor dan gak ada tempat duduk saat itu. Gue lemes. KRL yang digadang-gadang ber Aasseee ternyata cuman ditaruh sebuah kipas angin yang berputar-putar. Walhasil kadang dingin kebanyakan enggak.

Sekitar satu jam kami harus berdiri berpegangan tali penumpang di dalam KRL ber-kipas angin (bukan Aaasee) dan akhirnya sampai di stasiun bogor. Dalam benak gue, gue bakalan mencium aroma segarnya udara bogor yang terkenal dengan kota hujan. Gue merem sejenak dan tarik napas. *NGOOOEENGGG* baunya aneh. Knalpot bung. Ini bogor?? Udara yang gue idam-idamkan ternyata tak terwujud. Bogor itu Phanaasszzz.

“kau pikir bogor kota hujan?? Kau salah ul” seru si Ryan

Ternyata selama ini guru SD gue boong. Bogor itu bukan kota ujan tapi kota panas lebih panas membaranya daripada Bintaro. Gue kecewa.

Kami berjalan jauh dari stasiun ke depan jalan besar sekedar mencari makan dan naik angkot untuk bisa sampai ke KRB (kebun raya bogor). Dengan penuh peluh dan bau ketek serta bau sabun yang udah bener-bener ilang kami berjalan menyusuri jalan raya sekitar satu jam hanya untuk mencari seorang pedagang makanan. Ternyata makan sebelum berangkat tadi efeknya sudah menghilang. Akhirnya kami temukan mas-mas penjual soto. Makan sebentar kemudian dilanjutkan dengan sholat dzuhur dan kami pun sudah ada di dalam angkot yang akan menuju pintu utama KRB.

Terlihat sebuah monumen gedung tempat kami akan membeli tiket masuk ke dalam KRB. Gue udah ngebayangin di dalam bakalan ketemu danau indah dengan air jernih dan pemandangan antara pengunjung dengan kawanan hewan jinak yang dilepas semaunya. Setelah gue masuk. Bayangan gue lagi-lagi salah. Kanan kiri sejauh mata gue berotasi hanya ada rumput dan pohon yang di batangnya terdapat nama latin yang sulit gue baca. Tapi harapan gue masih ada. Terlihat dari kejauhan ada danau besar di selingi dengan pemandangan gedung bersejarah yang tak boleh kami masuki.setelah mendekat lagi-lagi gue kecewa. Air yang gue bayangin jernih ternyata berwarna hijau pekat dengan hamparan teratai jumbo diatasnya. Akhirnya kami memutuskan berkeliling melihat-lihat pemandangan dan sesekali mengambil foto narsis. Kami mencoba foto dengan gaya melompat dan dari lima belas kali percobaan hanya sebuah foto loncat yang berhasil diabadikan selebihnya burem dan muka gue tampak lebih gak jelas dari biasanya.

Terlihat mbak-mbak penjaja es di dekat jalan setapak yang serasa menggoda kami untuk membelinya. Membeli es-nya maksud gue. Kami pun menikmati es 2000 perak hasil dari dompet si frisa sambil melihat pemandangan dekat danau. Tiba- tiba. Es gue serasa mencair. Tapi kok gak ada rasanya lelehan yang ada ditangan?? Ujan!! Bogor ujan!! Guru SD gue bener, ternyata bogor kota ujan. Tapi.. kenapa ini ujan dateng tiba-tiba?? Ijin dulu kek, umumin di bagian informasi gitu kek biar kita udah siap-siap berteduh dulu #yakali. Mestakung yang digadang-gadang pas kita ke pulau pari ternyata tak berlanjut di Bogor. Ujan deras dengan angin dan baju serta jaket gue yang berhasil basah kuyup dan es krim yang akhirnya gue telen bulet2 membuat kami harus berteduh di bawah rindangnya pohon. Awalnya. Dan itu gak berhasil. Akhirnya kami lari ke WC umum terdekat dan menunggu langit berhenti menangis #eaa.

Sekitar satu jam hujan deras telah berangsur-angsur menjadi hujan sangat ringan. Kami pun langsung menuju taman di depan restoran Dedaunan (klo gak salah itu namanya) dan berfoto sedikit kemudian mencari masjid untuk sholat ashar. Kami lanjutkan mencari jembatan merah yang katanya klo dua sejoli dateng dan melewati jembatan itu nanti bakalan putus. Untung cewek gue nun jauh disana dan gak gue ajak :’). Gue gak terancam jadi jomblo #terharu. Berkeliling-keliling dan akhirnya jembatan itu kami temukan. Warnanya merah dan bergelantungan *ya iyalah*. Seketika itu gue percepat langkah kaki untuk sampai ke ujung jembatan lainnya. Gue takut ketinggian dan di bawah air sungai lagi deras-derasnya dan jembatan terlihat sepi, hanya kami berempat diatasnya. Ntr klo gue jatuh terus keseret air sungai siapa yang nolongin coba. Gak mau kan mati sia-sia. Belum nikah lagi #apasih. Akhirnya kami sudahi mengelilingi KRB dan mencoba keluar dari pintu lain karena pintu utama sudah terkunci rapat.

Pas jalan kami lungkan waktu untuk singgah di toko asinan sekedar mencicipi ras asinan bogor yang kata si frisa dan ryan rasanya seger, asin, manis, kecut dan enak. Gue pun mencoba dan rasanya...ANEH. ternyat lidah gue gak cocok untuk makanan seperti ini dan ternyata bukan gue aja, si geza juga gak begitu suka. Terlihat si ryan dan frisa lahap menghabiskan asinan serta kuah-kuahnya hingga tetes terakhir. Entah lidah mereka terbuat dari apa. Pikir gue.

Setelah puas dengan keadaan bogor akhirnya kami pulang dengan kereta terakhir kedua dan kali ini ber-Aaaaseeeee. Singgah dulu di manggarai dan kemudian melanjutkan ke tanah abang dan naik kereta terakhir ke pondok ranji. Badan serasa tepar setelah touch down di kamar. Seketika itu gue seneng karena akhirnya bisa melihat bogor bukan Cuma dari tipi sekaligus sedih setelah melihat dompet yang semakin menganga adanya. Mak gajiannya kapan mak?? :’)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar