Liburan selalu menjadi ajang buat gue bangun kesiangan dan
menghemat air kosan. Tapi hal ini gak berlaku ketika hari ini gue ada janji
jalan-jalan ke kota yang kata guru SD pas di kampung disebut kota hujan. Ya Bogor.
Si Ryan sms klo kita (gue, ryan, geza dan frisa) bakalan berangkat dari kosan
si frisa jam delapan pagi. Dan gue udah mandi dan tampak ganteng, eee oke gak
ganteng tapi cakep #sikap, jam setengah
delapan. Kata si syella golongan darah B bakalan sering yang namanya suka telat
tapi entah kenapa hal itu gak terjadi di diri gue. Gue heran, syella juga. Kita
heran. Ah sudahlah. Dengan semangat 45 karena belum pernah naik KRL sejauh
bogor akhirnya gue sampai di depan kos frisa jam delapan kurang dikit. Terlihat
banyak sekaliiiii... rumput -____-“ si geza dan ryan blom dateng. Seperti biasa
yang dilakukan adalah sms dengan isi “dimana kau??” dan respon mereka adalah “tidak
dijawab” #sedih *forever alone*. Akhirnya dengan sabar gue coba menunggu sambil
sesekali ngelihat duo hape barangkali mereka dengan khilaf bales sms gue.
Lima belas menit. Dua puluh menit. Gue masih sendiri. Serasa seorang
jomblo yang pagi-pagi lagi nungguin cewek baru pulang dari jogging terus
kenalan dan tukeran nomer hape. Akhirnya dua orang itu datang dengan menebarkan
senyum-senyum dan berkata “salahin geza ul geza nih”. Dengan penuh rasa sabar
akhirnya gue membalas senyum mereka. Sambil dongkol di dalem #salah. Akhirnya kami
berangkat ke stasiun kecil deket kampus yang memiliki memori indah saat pulang
dari pulau pari dulu. Beli tiket ke tanah abang dan menunggu datangnya KRL. Ya gue
berharap KRL yang bakal kami tumpangi. Setengah jam kemudian tampak dari jauh
sebuah kepala kereta. Tunggu. Ada asap. KRL itu gak berasap. Ah mungkin kepala
KRLnya lagi kebakaran. Bukan, Itu lokomotif bukan KRL. Tidaaaakkk. Kenapa setiap
gue pengen ke tanah abang gak pernah ngerasain KRL. Kenapa harus kereta
penumpang dengan banyak orang berdiri di dekat pintu itu. Apakah gue ada salah
ama PT KAI?? Kenapa?? Memori ke tanah abang selalu gue lalui dengan segala
kepengapan dan berdesak-desakan diselingi bau-bau ketek om-om dan tante-tante
yang mengalir dengan derasnya. #muntaahh
Akhirnya dengan napas yang terengah-engah kami sampai ke
tanah abang. Ryan dengan sigap langsung membeli tiket ke bogor dan dipastikan
kita bakalan naik KRL comutter ber Aaaseeee. #terharu.
“jam berapa yan??” tanya gue
“jam setengah sepuluh lebih” jawabnya
Oh. Gue liat jam. Ya dua puluh menitan lagi lah. Akhirnya kita
mencoba istirahat dan menetralkan bau-bau ketek yang bersarang di hidung kami. Banyak
kereta lalu lalang jam itu. Ya iyalah namanya juga stasiun. Bodo juga gue. Kesel
kan. Eh itu tulisan kemaren.
Jam di stasiun udah menunjukkan pukul setengah sepuluh dan
tak terlihat adanya batang hidung KRL kami. Akhirnya si Ryan mencoba menanyakan
kepada mas-mas petugas penjaga rel. Dan dia membawa kabar buruk. Keretanya ditunda
sampai jam setengah sebelas. What The
*tiiittttt*. Kenapa itu kereta telat?? Apa mungkin masinisnya lagi ambeien
atau lagi mules jadi harus ke belakang dulu?? Bukan cuma kami yang kecewa. Ibuk-ibuk
dengan anak kecil di gendongannya juga kecewa. Kita di-PHP ama si kereta cuy. Kurang
sakit apa coba di PHP bukan sama cewek tapi sama kereta *apasih ul*.
Akhirnya dengan peluh yang teramat banyak dan bau harum sabun
yang mulai memudar dari tubuh kereta yang ditunggu-tunggu datang. Terlihat di
atas pintu kereta terpampang jalur KRL dengan stasiun-stasiun yang ada. Setelah
dihitung dengan seksama dan melihat tulisan yang berujar “Bogor” ada di pojok
kanan bawah, kami harus melewati sekitar 18 stasiun lagi untuk sampai ke bogor
dan gak ada tempat duduk saat itu. Gue lemes. KRL yang digadang-gadang ber
Aasseee ternyata cuman ditaruh sebuah kipas angin yang berputar-putar. Walhasil
kadang dingin kebanyakan enggak.
Sekitar satu jam kami harus berdiri berpegangan tali
penumpang di dalam KRL ber-kipas angin (bukan Aaasee) dan akhirnya sampai di
stasiun bogor. Dalam benak gue, gue bakalan mencium aroma segarnya udara bogor
yang terkenal dengan kota hujan. Gue merem sejenak dan tarik napas.
*NGOOOEENGGG* baunya aneh. Knalpot bung. Ini bogor?? Udara yang gue
idam-idamkan ternyata tak terwujud. Bogor itu Phanaasszzz.
“kau pikir bogor kota hujan?? Kau salah ul” seru si Ryan
Ternyata selama ini guru SD gue boong. Bogor itu bukan kota
ujan tapi kota panas lebih panas membaranya daripada Bintaro. Gue kecewa.
Kami berjalan jauh dari stasiun ke depan jalan besar sekedar
mencari makan dan naik angkot untuk bisa sampai ke KRB (kebun raya bogor). Dengan
penuh peluh dan bau ketek serta bau sabun yang udah bener-bener ilang kami
berjalan menyusuri jalan raya sekitar satu jam hanya untuk mencari seorang
pedagang makanan. Ternyata makan sebelum berangkat tadi efeknya sudah
menghilang. Akhirnya kami temukan mas-mas penjual soto. Makan sebentar kemudian
dilanjutkan dengan sholat dzuhur dan kami pun sudah ada di dalam angkot yang
akan menuju pintu utama KRB.
Terlihat sebuah monumen gedung tempat kami akan membeli tiket
masuk ke dalam KRB. Gue udah ngebayangin di dalam bakalan ketemu danau indah
dengan air jernih dan pemandangan antara pengunjung dengan kawanan hewan jinak
yang dilepas semaunya. Setelah gue masuk. Bayangan gue lagi-lagi salah. Kanan kiri
sejauh mata gue berotasi hanya ada rumput dan pohon yang di batangnya terdapat
nama latin yang sulit gue baca. Tapi harapan gue masih ada. Terlihat dari
kejauhan ada danau besar di selingi dengan pemandangan gedung bersejarah yang
tak boleh kami masuki.setelah mendekat lagi-lagi gue kecewa. Air yang gue
bayangin jernih ternyata berwarna hijau pekat dengan hamparan teratai jumbo
diatasnya. Akhirnya kami memutuskan berkeliling melihat-lihat pemandangan dan
sesekali mengambil foto narsis. Kami mencoba foto dengan gaya melompat dan dari
lima belas kali percobaan hanya sebuah foto loncat yang berhasil diabadikan
selebihnya burem dan muka gue tampak lebih gak jelas dari biasanya.
Terlihat mbak-mbak penjaja es di dekat jalan setapak yang
serasa menggoda kami untuk membelinya. Membeli es-nya maksud gue. Kami pun
menikmati es 2000 perak hasil dari dompet si frisa sambil melihat pemandangan
dekat danau. Tiba- tiba. Es gue serasa mencair. Tapi kok gak ada rasanya
lelehan yang ada ditangan?? Ujan!! Bogor ujan!! Guru SD gue bener, ternyata
bogor kota ujan. Tapi.. kenapa ini ujan dateng tiba-tiba?? Ijin dulu kek,
umumin di bagian informasi gitu kek biar kita udah siap-siap berteduh dulu
#yakali. Mestakung yang digadang-gadang pas kita ke pulau pari ternyata tak
berlanjut di Bogor. Ujan deras dengan angin dan baju serta jaket gue yang
berhasil basah kuyup dan es krim yang akhirnya gue telen bulet2 membuat kami
harus berteduh di bawah rindangnya pohon. Awalnya. Dan itu gak berhasil. Akhirnya
kami lari ke WC umum terdekat dan menunggu langit berhenti menangis #eaa.
Sekitar satu jam hujan deras telah berangsur-angsur menjadi
hujan sangat ringan. Kami pun langsung menuju taman di depan restoran Dedaunan
(klo gak salah itu namanya) dan berfoto sedikit kemudian mencari masjid untuk
sholat ashar. Kami lanjutkan mencari jembatan merah yang katanya klo dua sejoli
dateng dan melewati jembatan itu nanti bakalan putus. Untung cewek gue nun jauh
disana dan gak gue ajak :’). Gue gak terancam jadi jomblo #terharu. Berkeliling-keliling
dan akhirnya jembatan itu kami temukan. Warnanya merah dan bergelantungan *ya
iyalah*. Seketika itu gue percepat langkah kaki untuk sampai ke ujung jembatan
lainnya. Gue takut ketinggian dan di bawah air sungai lagi deras-derasnya dan
jembatan terlihat sepi, hanya kami berempat diatasnya. Ntr klo gue jatuh terus
keseret air sungai siapa yang nolongin coba. Gak mau kan mati sia-sia. Belum nikah
lagi #apasih. Akhirnya kami sudahi mengelilingi KRB dan mencoba keluar dari
pintu lain karena pintu utama sudah terkunci rapat.
Pas jalan kami lungkan waktu untuk singgah di toko asinan
sekedar mencicipi ras asinan bogor yang kata si frisa dan ryan rasanya seger,
asin, manis, kecut dan enak. Gue pun mencoba dan rasanya...ANEH. ternyat lidah
gue gak cocok untuk makanan seperti ini dan ternyata bukan gue aja, si geza
juga gak begitu suka. Terlihat si ryan dan frisa lahap menghabiskan asinan
serta kuah-kuahnya hingga tetes terakhir. Entah lidah mereka terbuat dari apa. Pikir
gue.
Setelah puas dengan keadaan bogor akhirnya kami pulang dengan
kereta terakhir kedua dan kali ini ber-Aaaaseeeee. Singgah dulu di manggarai
dan kemudian melanjutkan ke tanah abang dan naik kereta terakhir ke pondok
ranji. Badan serasa tepar setelah touch
down di kamar. Seketika itu gue seneng karena akhirnya bisa melihat bogor
bukan Cuma dari tipi sekaligus sedih setelah melihat dompet yang semakin
menganga adanya. Mak gajiannya kapan mak?? :’)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar